Kita pernah sepakat, untuk tak satukan rasa, untuk membiarkan semuanya termakan waktu, lalu terlupakan oleh jarak yang terbentang. Aku dan kamu pernah berjanji, agar tak membawa segala rasa dan persepsi ke arah yang lebih serius. Kita bertahan, terus
bertahan, namun semua diluar dugaan. Sesuatu yang telah kita tolak kehadirannya memilih untuk
menampakan diri. Lalu, aku dan kamu semakin mencoba untuk tak peduli, dan bertahan untuk merawat gengsi.
Tak bisa dipungkiri, ada rindu yang diam-diam tertanam, ketika ragamu tak mampu kurengkuh, ketika sentuhanmu tak selalu kurasakan.
Kita menjalin hubungan, tak terikat, tapi timbulkan beberapa akibat; jatuh cinta. Iya, dan aku dan kamu masih berusaha memungkiri yang selama ini terjadi. Tak mau saling mengaku dan masih ingin
menyembunyikan. Aku dan kamu masih terlibat trauma, dan tak ingin buru-buru mengucap kata cinta.
Sekarang, ketika pengakuan sudah saling terucapkan, ketika rasa kita mulai temukan penyatuan, ternyata masih ada tantangan; jarak. Yang sulit kita lawan dan sangat sulit kita hadapi sendiri. Masih ada pertengkaran di tengah rasa rindu, dan ada rasa rindu di balik rasa angkuh dan keras kepala kita
masing-masing.
Mengutip perkataanmu, saat dekat ribut, saat jauh baru terasa kangen.
Lihatlah, kita saling mencintai, mengasihi tapi kebingungan mencari cara untuk mengungkapkan dan mengucapkan. Kita terlalu berharap pada waktu dan juga keadaan yang diam-diam akan bocorkan yang kita rasakan.
Sampai sekarang tak ada status yang benar-benar jelas.
Kadang, kita menjauh, kadang, saling berdekatan. Kita seperti gedung- gedung tinggi di Jakarta, saling
berhadapan tapi enggan
bersentuhan.
Kita terlalu sering dijauhkan jarak, terlalu sering memperdebatkan hal
sepele, tapi rindu masih memegang kendali. Aku dan kamu belum benar- benar saling melupakan.
Jika jemari ditakdirkan untuk menghapus air mata, mengapa kali ini aku menghapus air mataku
sendiri? Dimanakah jemarimu saat tak bisa kau hapuskan air mataku???
No comments:
Post a Comment